Sunday, January 12, 2020

TRADISI 7 BULANAN ATAU TINGKEBAN MASYRAKAT JAWA YANG MASIH DILAKSANAKAN DI ZAMAN INI


ARTIKEL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TRADISI 7 BULANAN ATAU TINGKEBAN MASYARAKAT JAWA YANG MASIH DILAKSANAKAN DI ZAMAN INI
 







DOSEN:
Dr. Amaliyah, M.Pd
DISUSUN OLEH:
Siti Raditya Fathiati                  ( 1102619028 )
Putri Elsa Nuridayanti              ( 1102619047 )
Zafira Nuha Menggala             ( 1102619071 )
Alya Firqani Nadira                 ( 1102619125 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KHUSUS
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2019

TRADISI 7 BULANAN ATAU TINGKEBAN MASYARAKAT JAWA YANG MASIH DILAKSANAKAN DI ZAMAN INI
Siti Raditya F, Putri Elsa N, Zafira Nuha M, Alya Firqani N
1102619028, 1102619047, 1102619071, 1102619125
Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri Jakarta

Abstrak : Suatu tradisi merupakan warisan temurun dari nenek moyang. Dan tentunya memiliki maksud dan tujuan tersendiri. Nenek moyang mengajarkan berbagai hal untuk bekal masa depan dengan bercampur pengalamn serta kebudayaan. Salah satunya ialah tingkeban, tradisi yang dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali bertujuan untuk keselamatan jabang bayi dan ucapan rasa syukur.

Kata Kunci : tradisi lisan, upacara 7 bulanan.

Pendahuluan

         Kehidupan manusia di dunia ini tidak akan lepas dari proses kebudayaan. Karena kebudayaan mencakup seluruh totalitas dari kehidupan manusia sebagai makhluk yang berpikir dan berkembang maju sesuai harkat dan martabatnya. Seperti apa yang di sampaikan oleh para ahli antropologi bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah menghasilkan, sebagai proses dan sosialisasi. Menurut Koentjaraningrat (1983:182) menyatakan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia belajar.

         Untuk itu, kebudayaan Indonesia harus tetap dijaga dan diarahkan pada penghayatan Pancasila serta memperkuat kepribadian, mewujudkan persatuan guna mancapai suatu cita-cita bangsa yaitu membangun manusia seutuhnya serta menciptakan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang dasar 1945, terutama dalam GBHN, tentang arah pembangunan Nasional dalam pengembangan nilai-nilai kebudayaan bangsa. Suatu tradisi yang masih hidup dalam masyarakat perlu dijaga dan dikembangkan, hal ini sebagai suatu pribadi bangsa. Nilai-nilai luhur didalamnya perlu mendapat pengembangan dan pembinaan misalnya suatu sikap tradisi masyarakat yang diwariskan secara turun temurun seperti adanya kebersamaan, rasa akan kesadaran bermasyarakat dan kekeluargaan.

Salah satu tradisi yang masih hidup subur dalam masyarakat jawa diantaranya adalah tradisi upacara selamatan 7 bulanan. Tradisi tersebut merupakan kebiasaan turun-temurun oleh masyarakat Jawa. Upacara selamatan 7 bulanan bukan hanya sekedar sebagai tradisi melainkan sebagai suatu sistem religi. Kenyataan yang ada dilakukan narasumber membuktikan bahwa upacara selamatan 7 bulanan sampai sekarang masih dilaksanakan dan dilestarikan. Yang ada hakikatnya dalam pelaksanaan upacara selamatan 7 bulanan mengandung aspek religi dan aspek sosial.

Metode

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Cilincing, Jakarta Utara Alasan penulisan mengambil lokasi ini untuk menjadikan tempat penelitian, karena didaerah ini masih ada tradisi yang selalu dilaksanakan pada setiap ibu hamil 7 bulan.

 Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini ditentukan dengan Purpositiv Sampling yaitu pengambilan atau penarikan sampling yang dilakukan dengan memilih subjek berdasarkan kriteria spesifik yang telah ditetapkan oleh peneliti. Masyarakat yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah masyarakat yang mengetahui dan ikut serta dalam pelaksanaan atau pelestarian pada tradisi 7 bulanan (Tingkeban).





Pembahasan

Tingkeban, secara historis berkembang dari mulut ke mulut memang sejak zaman dahulu. Pada zamn kerajaan Kediri diperintah oleh Raja Jayabaya, ada seorang wanita yang bernama Niken Satingkeb ia menikah dengan seorang punggawa kerajaan yang bernama Sadiyo. Dari perkawinan ini lahirlah Sembilan orang anak tetapi nasib malang menimpa mereka, karena dari kesembilan anak tersebut tidak ada yang berumur panjang. Sandiyo dan Niken Satingkeb tidak putus asa dalam berusaha dan selalu berdoa agar mempunyai anak lagi yang kelak tidak nasib malang seperti anak-anak mereka sebelumnya. Akhirnya mereka pergi menghadap raja untuk mengadukan kepedihan hatinya dan mohon petunjuk sarana apakah yang harus mereka lakukan agar dianugerahi seorang  anak lagi yang tidak mengalami nasib seperti anak-anaknya terdahulu. Sang raja yang arif bijaksana itu terhary mendengar pengaduan nyai Niken Satingkeb dan suaminya. Maka, beliau memberikan petunjuk agar nyai Satingkeb pada setiap hari Tumbak (Rabu) dan Budha (Sabtu) harusmandi dengan air suci dengan gayung batok kelapa. Ini asal muasal adanya tingkeban di daerah Kediri Jawa Timur dan sudah ada sejak masih kerajaan Kediri jaya.

Tradisi Lisan

Kata tradisi berasal bahasa Latin ‘traditio’ yang berarti ‘kebiasaan’. Tradisi masyarakat Jawa berarti sesuatu yang telah dilakukan masyarakat Jawa sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat yang sama dalam hal kebudayaan. Hal yang paling mendasar dalam tradisi dalam masyarakat Jawa adalah informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan. Tradisi muncul sebagai suatu buah pikiran yang dijalankan masyarakat secara bersama-sama dan dilakukan secara turun menurun. Generasi penerus berkewajiban melestarikan tradisi yang sudah ada dengan memegang teguh makna yang tersimpan dalam berbagai tradisi yang ada.

Sedangkan folklor merupakan adaptasi dari istilah berbahasa Inggris folklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk yang artinya sama dengan ‘kolektif’. Menurut Alan Dundes dalam James Danandjaja (Danandjaja, 2007: 2), folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya, sedangkan lore, adalah tradisi folk, yaitu sebagai kebudayaan yang diwariskan secara turun-menurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.

Menurut pendapat Brunvand dalam Metode Penelitian Folklor (Endraswara, 2009: 29), folklor juga dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu sebagai berikut.

1.      Folklore lisan yaitu folklor yang banyak diteliti orang. Bentuk folklor lisan dari yang sederhana, yaitu ujaran rakyat, yang bisa dirinci dalam bentuk julukan, dialek, ungkapan, dan kalimat tradisional, pernyataan rakyat, legenda, nyanyian rakyat, dan sebagainya
2.      Folklor adat kebiasaan yang mencakup jenis folklor lisan dan non lisan. Misalkan kepercayaan rakyat, adat-istiadat, pesta dan permainan rakyat;
3.      Folklor material yaitu seni kriya, arsitektur, busana, makanan, dan lain-lain.

Tingkeban
Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh. Upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam  upacara ini sang ibu yang sedang hamil dimandikan dengan air kembang setaman dan disertai doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
Menurut tradisi Jawa, upacara dilaksanakan pada tanggal 7, 17 dan 27 sebelum bulan purnama pada penanggalan Jawa dilaksanakan di kiri atau kanan rumah menghadap kearah matahari terbit. Yang memandikan jumlahnya juga ganjil misalnya 5,7,atau 9 orang. Setelah disiram, dipakaikan kain /jarik sampai tujuh kali, yang terakhir/ ketujuh yang dianggap paling pantas dikenakan. Diikuti oleh acara pemotongan tumpeng tujuh yang diawali dengan doa kemudian makan rujak, dan seterusnya. Hakikat dasar dari semua tradisi Jawa adalah suatu ungkapan syukur dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan ketentraman namun diungkapkan dalam bentuk lambang-lambang yang masing-masing mempunyai makna.

Pengertian 7 Bulanan
Bagi masyarakat modern umumnya acara 7 bulanan ini hanya dilakukan dengan mengundang beberapa tetangga yang kemudian berkumpul di rumah sang ibu hamil untuk duduk bersama membacakan doa-doa atau sholawatan atau bisa juga sambil dilakukan pengajian untuk siraman rohani.
Tak hanya itu, dalam proses tersebut tamu undangan juga akan diberi jamuan berupa makanan berat dan ringan atau untuk dibawakan oleh-oleh seperti snack. Tak sedikit juga memberikan “uang sholawat” yang diselipkan dalam amplop untuk para tamu undangan khusus yang membacakan doa sholawatan dalam acara tersebut yang disesuaikan dengan kapasitas tamu undangannya. Acara 7 bulanan dimaknai sebagai permintaan akan keselamatan dan pertolongan pada yang Maha Kuasa.

Budaya Siraman
Sebelum prosesi siraman calon ibu dan ayah melakukan sungkeman kepada kedua orangtua guna memohon doa restu untuk keselamatan dan kelancaran pesalinan. Siram artinya mandi. Siraman berarti memandikan. Siraman atau mandi bertujuan untuk menyucikan secara lahir dan batin sang ibu dan calon bayi. Dengan balutan kain batik, sang ibu akan duduk dan disiram dengan air siraman yang telah ditaburi kembang setaman. Dipandu oleh seorang sesepuh atau orang yang bertugas memimpin jalannya prosesi ini, tujuh orang terpilih akan menyiram sang ibu menggunakan gayung dari batok kelapa. Prosesi siraman dimulai dari orang yang paling tua di keluarga, kemudian dilanjutkan dengan yang lainnya.
Sesuai tema, jumlah angka tujuh atau pitu kemudian dipakai sebagai simbol. Air yang digunakan diambil dari tujuh sumber, atau bisa juga dari air mineral berbagai merek, yang ditampung dalam jambangan, yaitu sejenis ember bukan dari plastik tapi terbuat dari terakota atau kuningan dan ditaburi kembang setaman atau sritaman yaitu bunga mawar, melati, kantil serta kenanga. Aneka bunga ini melambangkan kesucian. Tujuh orang bapak dan ibu teladan dipilih untuk tugas memandikan. Seolah tanpa saingan, yang pasti terpilih adalah calon kakek dan neneknya. Tanpa tetek bengek perhiasan seperti anting, ataupun gelang, dan hanya mengenakan lilitan jarit (kain batik), calon ibu dibimbing menuju ke tempat permandian oleh pemandu atau sesepuh di tempatnya.
Siraman diawali oleh calon kakek, berikutnya calon nenek, dilanjutkan oleh yang lainnya. Dilakukan dengan cara menuangkan atau mengguyurkan air yang berbunga-bunga itu ke tubuh calon ibu dengan menggunakan gayung yang dibuat dari batok kelapa yang masih berkelapa atau masih ada dagingnya. Bunga-bunga yang menempel disekujur badan dibersihkan dengan air terakhir dari dalam kendi. Kendi itu kemudian dibanting kelantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua yang hadir mengamati. 

Setelah acarama siaraman selesai kemudian upacara jualan rujak atau cendol (dawet) oleh sang calon ayah dan calon ibu. Calon ayah membawa payung untuk memayungi calon ibu saat berjualan, sementara calon ibu membawa wadah untuk menampung uang hasil jualan tersebut. Uang yang digunakan adalah uang koin yang terbuat dari tanah liat (kreweng). Sang calon ayah menerima uang tersebut dari pembeli untuk dimasukkan dalam wadah tersebut dan sang calon ibu melayani para pembeli. Rujak yang merupakan rujak serut tersebut juga dibuat dari 7 macam buah-buahan. Calon ibu yang meracik sendiri bumbu rujaknya, melambangkan apabila rasanya kurang enak, anaknya adalah lelaki, dan sebaliknya
Budaya Pengajian
Pengajian dalam 7 bulanan di laksanakan atas rasa bersyukurnya calon kedua orangtua sang anak, karena pada kehamilan usia 7 bulan bayi dalam kandungan mengalami banyak perubahan perkembangan yang lebih pesat dari pada usia 4 bulan, karena usia kandungan 7 bulan adalah usia persiapan awal menuju ke proses kelahiran, dimana ukuran dan berat bayi bertambah dan perubahan tersebut berdampak terhadap kondisi sang ibu yang biasanya menjadi lebih sering merasakan nyeri di pinggang karena ukuran bayi yang dikandung semakin besar akan semakin memberikan tekanan pada organ dalam seperti sembelit dan jadi lebih sering buang air kecil. Selain ukuran dan berat bayi dalam kandungan yang semakin membesar dan proporsional, kulit janin juga mulai dilapisi oleh sebuah zat lemak yang akan membuat bayi merasa lebih hangat saat berada di dalam kandungan. Di usia kandungan ke 7 bulan ini jugalah darah mulai menglir di jaringan kulit bayi sehingga kulit yang tadinya keriput akan berangsur-angsur menjadi semakin halus.
Dalam pengajian ini tidak ada tata cara yang mengharuskan, pengajian ini biasanya berisi doa-doa, sholawatan dan pengajian siraman rohani. Pengajian ini biasanya dilakukan dengan mengundang beberapa tetangga dan sanak saudara ataupu ibu-ibu pengajian untuk datang ke rumah sang ibu hamil dan melakukan pengajian tersebut bersama.
Acara 7 Bulanan Adat Jawa
Acara dimulai dengan prosesi siraman yang dilakukan oleh 7 kerabat terdekat dengan tujuan meminta keselamatan bagi si jabang bayi. Acara siraman dilakukan sebagai prosesi penyucian si ibu dan anak, yang melakukan siraman pun adalah tujuh bapak dan ibu teladan dari kedua belah pihak, dengan nenek dan kakek si jabang bayi yang diutamakan. Siraman biasanya dilakukan di sebuah setting bernama krobongan atau bisa juga di kamar mandi.
Acara siraman dilanjutkan dengan acara brojolan yang biasanya dipimpin oleh nenek si jabang bayi. Seslesai siraman, si calon bayi hanya memakai kain jarik yang disertai dengan sepotong tali bernama letrek, si calon nenek kemudian akan memasukkan tropong atau telur ayam dari atas jarik hingga jatuh dari bagian bawah. Setelah itu, brojolan dilanjutkan dengan dua belah kelapa yang di brojolkan dari jarik. Si nenek wajib menerima atau menangkap kelapa dari bawah jari kemudian menyerahkan kepada si bapak. Akhirnya, si calon bapak memotong tali dengan keris sebagai pertanda suami yang dapat memotong segala rintang.
Setelah selesai melakukan prosesi brojolan, acara tujuh bulanan dilanjutkan dengan acara angreman. Acara dimulai dengan si ibu yang dituntun ke ruang lain untuk berganti baju dengan tujuh macam kain, hanya kain ketujuh lah yang akan dipakai sedangkan enam sebelumnya akan dipakai sebagi alas duduk atau alas “angrem”. Prosesi juga biasanya disertai dengan si ibu yang disuapi oleh si ayah dengan nasi tumpeng dan bubur merah. Hal tersebut menandakan si anak dan juga ayah yang akan selalu menghidupi keluarganya.
Setelah itu, acara akan dilanjutkan dengan prosesi memecah kelapa yang telah diberikan oleh si nenek ke ayah. Kelapa tersebut biasanya telah digambari dengan tokoh wayang Kamajaya dan Kamaratih yang terkenal dengan ketampanan dan kecantikannya. Si ayah kemudian memilih salah satu kelapa untuk dipecah. Jika ayah memilih Kamajaya, diharapkan si jabang bayi adalah laki-laki dan Kamaratih adalah perempuan.
Di akhir acara, si ibu akan membuat rujak yang kemudian akan dijual kepada para tamu. Para tamu pun akan membelinya dengan uang-uangan dari bahan tanah liat. Prosesi ini pun merupakan sebuah harapan agar si anak mendapatkan banyak rejeki untuk dirinya dan juga bagi kedua orang tua mereka.
Dengan selesainya acara mitoni atau tujuh bulanan sebelum matahari terbenam, diharapkan si anak hadir di dunia dengan penuh keselamatan, rejeki, dan pertolongan dari Yang Maha Esa.

Dampak Terdahap yang Melaksanakan

Dampak yang dirasakan ibu  dan keluarga yang melaksanakan tradisi tujuh bulanan ini secara  pribadi merasa bersih lahir dan bathin. Karena upacara tujuh bulanan ini diyakini mengakdung makna agar kelahiran bayi tidak banyak mengalami hambatan dan menjadi anak yang sholeh dan berbudi yang baik dengan berbagai proses dan ritual, mulai dari pembacaan Al-Qur’an, mandi kembang, pembelahan kelapa yang menandakan jenis kelamin bayi, pemecahan telur dan sebagainya. Tujuh bulanan atau tingkeban tidak bisa dilakukan pada hari-hari biasa. Dibutuhkan tanggal dan hari yang bagus menurut perhitungan jawa agar tak ada halangan yang menimpa nantinya. Tidak hanya itu, proses ini juga membutuhkan tempat khusus dalam melaksanakannya.

Kajian Literatur
Umat Islam di Indonesia terutama di pulau Jawa yaitu Jember, saat menyambut putera dan putrinya pertama ternyata masih melakukan ritual-ritual yang tidak ada perintah dari Nabi Muhammad SAW. Acara itu adalah Mitoni(saat berusia tujuh bulan), dan juga tingkeban. Sebagian melakukan ketiga-tiganya, ada pula yang melakukan acara mitoni dan tingkeban, ada pula yang melakukan tingkeban saja karena mitoni dianggap sama dengan tingkeban.
Sejarah tradisi ini berawal pada masa Prabu Jayabaya, waktu itu ada sepasang suami istri bernama Niken Satingkeb dan Sadiya, mereka melahirkan anak sembilan kali namun tidak satupun yang hidup. Kemudian keduanya menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya), mereka disarankan agar menjalankan tiga hal yaitu: 1)Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta mandi menggunakan tempurung kelapa (bathok). 2) Setelah mandi berganti pakaian yang bersih dengan menggembol kelapa gading yang dihiasi Kamajaya dan Kamaratih/Wisnu dan Dewi Sri yang diikat dengan daun tebu tulak, lalu dibrojolkan ke bawah, setelah kelapa gading tadi dibrojolkan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya.
Setelah itu Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Akhirnya sejak saat itu apabila ada orang hamil apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban atau mitoni. Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan. Sebagian orang Jawa, (dan juga selainnya termasuk Sunda, Minang, Dayak dan lainnya) mempercayai bahwa mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih.
Mitoni dan tingkeban dilaksanakan saat kehamilan berusia tidak boleh kurang dari 7 bulan. Karena tidak ada neptu atau weton (hari masehi + hari Jawa) yang dijadikan patokan, maka hari selasa atau sabtu yang digunakan. Tujuan mitoni atau tingkeban agar supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan.Ternyata tradisi Mitoni, dan Tingkeban yang sering dijumpai di tengah-tengah masyarakat adalah tradisi yang berasal dari agama Hindu, yaitu dalam KitabHindu Upadesa. Di dalam kitab,disebutkan bahwa Telonan, Mitoni, dan Tingkeban dilakukan untuk memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Acara ini sering juga dikenal dengan Garba Wedana (garba berarti perut, wedana berarti sedang mengandung).
Maksud dan Tujuan
Telonan disebut juga pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip) atau ruh kehidupan. Mitoni untuk melakukan ritual sambutan, yaitu penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) atau ruh kehidupan si bayi. Dan yang terbesar tingkeban berupa janganan,yaitu upacara suguhan terhadap “Empat Saudara”yang menyertai kelahiran sang bayi, yaitu: darah, air, barah, dan ari-ari yang oleh orang Jawa disebut kakang kawah adi ariari.
Tingkeban dilakukan guna memanggil semua kekuatan alam yang tidak kelihatan tapi mempunyai hubungan langsung pada kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan kepada Empat Saudarayang keluar bersama saat bayi dilahirkan. Bayi dan kakang kawah ari-ari bersama-sama diupacarakan, diberi pensucian dan suguhan agar sang bayi mendapat keselamatan dan selalu dijaga oleh unsur kekuatan alam. Ari-ari yang keluar bersama bayi dibersihkan dengan air dan dimasukkan ke dalam tempurung kelapa, atau guci. Guci kemudian ditanam di pekarangan, di kanan pintu apabila bayinya laki-laki, di kiri pintu apabila bayinya perempuan. Kendil atau guci yang berisi ari-ari ditimbun dengan baik, dan pada malam harinya diberi lampu, selama tiga bulan. (Kitab Upadesa, tentang ajaran-ajaran Agama Hindu, oleh : Tjok Rai Sudharta, MA. dan Drs. Ida Bagus Oka Punia Atmaja, cetakan kedua 2007).
Sebagian Umat Islam Masih Melaksanakan
Sebagian umat Islam di Indonesia masih melaksanakan tradisi ini. Akan tetapi dengan tata cara yang berbeda(atau dibedakan) dengan tradisi Jawa. Keluarga yang memiliki ibu yang hamil tujuh bulan mengajak tetangga-tetangganya guna dimintai pertolongan untuk membacakan beberapa surat tertentu dari Alquran, seperti Surat Yusuf, Surat Maryam, Surat Yasin, dll. Mereka membaca bersama-sama dengan bagian yang berbeda-beda, surat yang panjang biasanya dibagi dua atau tiga orang, sehingga dalam waktu kurang lebih setengah jam bacaan Alquran sudah selesai dan diakhiri dengan pembacaan doa oleh imamnya.
Selamatan kehamilan 7 bulanan tidak ada dalam ajaran Islam dan tradisi ini termasuk Bid’ah. Upacara adat tujuh bulanan yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang beragama Islam, juga dimaksudkan untuk kebaikan bagi anak yang dikandung. Dan setidaknya mereka melakukan upacara tersebut untuk tujuan kebaikan dan keselamatan bayinya, harapan mereka agar anak yang akan lahir menjadi anak yang shalih, menjadi hamba Allah yang jujur, bermanfaat bagi agama dan bangsa
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tradisi tujuh bulanan ini adalah suatu adat yang telah diyakini oleh masyarakat dan sudah dilaksanakan secara turun-temurun. Tradisi tujuh bulanan ini dilaksanakan dengan harapan diberikan kelancaran saat melahirkan dan berharap kelak anak yang akan dilahirkan menjadi anak yang sholeh dan sholeha. Karena tradisi ini sudah menjadi sebuah adat di masyarakat, oleh karena itu kita harus saling menghargai kebudayaan ini, walaupun ada sebagian yang mengarah pada perbuatan syirik, namun kita harus menghargai dan menghormati adanya kepercayaan yang ada dalam upacara selametan dan dalam tradisi tujuh bulanan ini sebaiknya tidak dilaksanakan secara berlebihan.







Lampiran Foto




No comments:

Post a Comment

Mithoni, Adat Budaya Jawa yang Sudah Mendarah Daging

LAPORAN HASIL OBSERVASI AGAMA “Mithoni, Adat Budaya Jawa yang Sudah Mendarah Daging” Disusun oleh : Prasasti Reihani Aulia Put...