ARTIKEL PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
TRADISI 7 BULANAN ATAU TINGKEBAN MASYARAKAT JAWA YANG MASIH DILAKSANAKAN DI
ZAMAN INI
DOSEN:
Dr. Amaliyah, M.Pd
DISUSUN OLEH:
Siti Raditya Fathiati ( 1102619028 )
Putri Elsa Nuridayanti ( 1102619047 )
Zafira Nuha Menggala ( 1102619071 )
Alya Firqani Nadira ( 1102619125 )
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KHUSUS
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2019
TRADISI 7 BULANAN ATAU TINGKEBAN MASYARAKAT JAWA YANG MASIH DILAKSANAKAN DI
ZAMAN INI
Siti Raditya F, Putri Elsa N, Zafira Nuha M, Alya Firqani N
1102619028, 1102619047, 1102619071, 1102619125
Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri Jakarta
Abstrak : Suatu tradisi merupakan warisan temurun
dari nenek moyang. Dan tentunya memiliki maksud dan tujuan tersendiri. Nenek
moyang mengajarkan berbagai hal untuk bekal masa depan dengan bercampur
pengalamn serta kebudayaan. Salah satunya ialah tingkeban, tradisi yang dilaksanakan pada usia
kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali bertujuan untuk keselamatan
jabang bayi dan ucapan rasa syukur.
Kata
Kunci : tradisi lisan, upacara 7 bulanan.
Pendahuluan
Kehidupan manusia di dunia ini tidak
akan lepas dari proses kebudayaan. Karena kebudayaan mencakup seluruh totalitas
dari kehidupan manusia sebagai makhluk yang berpikir dan berkembang maju sesuai
harkat dan martabatnya. Seperti apa yang di sampaikan oleh para ahli
antropologi bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah menghasilkan, sebagai
proses dan sosialisasi. Menurut Koentjaraningrat (1983:182) menyatakan
kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia belajar.
Untuk itu, kebudayaan Indonesia harus
tetap dijaga dan diarahkan pada penghayatan Pancasila serta memperkuat
kepribadian, mewujudkan persatuan guna mancapai suatu cita-cita bangsa yaitu
membangun manusia seutuhnya serta menciptakan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang dasar 1945, terutama dalam GBHN, tentang
arah pembangunan Nasional dalam pengembangan nilai-nilai kebudayaan bangsa.
Suatu tradisi yang masih hidup dalam masyarakat perlu dijaga dan dikembangkan,
hal ini sebagai suatu pribadi bangsa. Nilai-nilai luhur didalamnya perlu
mendapat pengembangan dan pembinaan misalnya suatu sikap tradisi masyarakat
yang diwariskan secara turun temurun seperti adanya kebersamaan, rasa akan
kesadaran bermasyarakat dan kekeluargaan.
Salah satu tradisi yang masih hidup subur
dalam masyarakat jawa diantaranya adalah tradisi upacara selamatan 7 bulanan. Tradisi tersebut merupakan kebiasaan
turun-temurun oleh masyarakat Jawa. Upacara selamatan 7 bulanan bukan hanya sekedar sebagai tradisi
melainkan sebagai suatu sistem religi. Kenyataan yang ada dilakukan narasumber membuktikan bahwa
upacara selamatan 7 bulanan sampai sekarang masih dilaksanakan dan dilestarikan. Yang ada
hakikatnya dalam pelaksanaan upacara selamatan 7 bulanan mengandung aspek religi dan aspek sosial.
Metode
Lokasi
Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Cilincing, Jakarta Utara Alasan
penulisan mengambil lokasi ini untuk menjadikan tempat penelitian, karena
didaerah ini masih ada tradisi yang selalu dilaksanakan pada setiap ibu hamil 7
bulan.
Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini ditentukan dengan
Purpositiv Sampling yaitu pengambilan atau penarikan sampling yang dilakukan
dengan memilih subjek berdasarkan kriteria spesifik yang telah ditetapkan oleh
peneliti. Masyarakat yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah
masyarakat yang mengetahui dan ikut serta dalam pelaksanaan atau pelestarian
pada tradisi 7 bulanan (Tingkeban).
Pembahasan
Tingkeban, secara historis berkembang dari
mulut ke mulut memang sejak zaman dahulu. Pada zamn kerajaan Kediri diperintah
oleh Raja Jayabaya, ada seorang wanita yang bernama Niken Satingkeb ia menikah
dengan seorang punggawa kerajaan yang bernama Sadiyo. Dari perkawinan ini
lahirlah Sembilan orang anak tetapi nasib malang menimpa mereka, karena dari
kesembilan anak tersebut tidak ada yang berumur panjang. Sandiyo dan Niken
Satingkeb tidak putus asa dalam berusaha dan selalu berdoa agar mempunyai anak
lagi yang kelak tidak nasib malang seperti anak-anak mereka sebelumnya.
Akhirnya mereka pergi menghadap raja untuk mengadukan kepedihan hatinya dan mohon
petunjuk sarana apakah yang harus mereka lakukan agar dianugerahi seorang anak lagi yang tidak mengalami nasib seperti
anak-anaknya terdahulu. Sang raja yang arif bijaksana itu terhary mendengar
pengaduan nyai Niken Satingkeb dan suaminya. Maka, beliau memberikan petunjuk
agar nyai Satingkeb pada setiap hari Tumbak (Rabu) dan Budha (Sabtu) harusmandi
dengan air suci dengan gayung batok kelapa. Ini asal muasal adanya tingkeban di
daerah Kediri Jawa Timur dan sudah ada sejak masih kerajaan Kediri jaya.
Tradisi
Lisan
Kata tradisi berasal bahasa Latin ‘traditio’ yang berarti
‘kebiasaan’. Tradisi masyarakat Jawa berarti sesuatu yang telah dilakukan
masyarakat Jawa sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat yang sama dalam hal kebudayaan. Hal yang paling mendasar dalam
tradisi dalam masyarakat Jawa adalah informasi yang diteruskan dari generasi ke
generasi baik tertulis maupun lisan. Tradisi muncul sebagai suatu buah pikiran
yang dijalankan masyarakat secara bersama-sama dan dilakukan secara turun
menurun. Generasi penerus berkewajiban melestarikan tradisi yang sudah ada
dengan memegang teguh makna yang tersimpan dalam berbagai tradisi yang ada.
Sedangkan folklor merupakan adaptasi dari istilah berbahasa Inggris
folklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar
folk dan lore. Folk yang artinya sama dengan ‘kolektif’.
Menurut Alan Dundes dalam James Danandjaja (Danandjaja, 2007: 2), folk adalah
sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan
kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya, sedangkan lore,
adalah tradisi folk, yaitu sebagai kebudayaan yang diwariskan secara
turun-menurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai gerak
isyarat atau alat pembantu pengingat.
Menurut
pendapat Brunvand dalam Metode Penelitian Folklor (Endraswara, 2009: 29), folklor juga dapat dikelompokan
menjadi tiga yaitu sebagai berikut.
1.
Folklore lisan yaitu folklor yang banyak diteliti orang. Bentuk
folklor lisan dari yang sederhana, yaitu
ujaran rakyat, yang bisa dirinci dalam bentuk julukan, dialek, ungkapan, dan kalimat tradisional, pernyataan rakyat,
legenda, nyanyian rakyat, dan sebagainya
2.
Folklor
adat kebiasaan yang mencakup jenis folklor lisan dan non lisan. Misalkan kepercayaan
rakyat, adat-istiadat, pesta dan permainan rakyat;
3.
Folklor material yaitu seni kriya, arsitektur, busana,
makanan, dan lain-lain.
Tingkeban
Upacara Tingkeban adalah
salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut
juga mitoni berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh. Upacara ini
dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali.
Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi
semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil
dimandikan dengan air kembang setaman dan disertai doa yang bertujuan untuk memohon
kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
Menurut
tradisi Jawa, upacara dilaksanakan pada tanggal 7, 17 dan 27 sebelum bulan
purnama pada penanggalan Jawa dilaksanakan di kiri atau kanan rumah menghadap
kearah matahari terbit. Yang memandikan jumlahnya juga ganjil misalnya 5,7,atau
9 orang. Setelah disiram, dipakaikan kain /jarik sampai tujuh kali, yang
terakhir/ ketujuh yang dianggap paling pantas dikenakan. Diikuti oleh acara
pemotongan tumpeng tujuh yang diawali dengan doa kemudian makan rujak, dan
seterusnya. Hakikat dasar dari semua tradisi Jawa adalah suatu ungkapan syukur
dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan ketentraman namun
diungkapkan dalam bentuk lambang-lambang yang masing-masing mempunyai makna.
Pengertian 7 Bulanan
Bagi masyarakat modern umumnya
acara 7 bulanan ini hanya dilakukan dengan mengundang beberapa tetangga yang
kemudian berkumpul di rumah sang ibu hamil untuk duduk bersama membacakan
doa-doa atau sholawatan atau bisa juga sambil dilakukan pengajian untuk siraman
rohani.
Tak hanya itu, dalam proses
tersebut tamu undangan juga akan diberi jamuan berupa makanan berat dan ringan
atau untuk dibawakan oleh-oleh seperti snack. Tak sedikit juga memberikan “uang
sholawat” yang diselipkan dalam amplop untuk para tamu undangan khusus yang
membacakan doa sholawatan dalam acara tersebut yang disesuaikan dengan
kapasitas tamu undangannya. Acara 7 bulanan dimaknai sebagai permintaan akan
keselamatan dan pertolongan pada yang Maha Kuasa.
Budaya Siraman
Sebelum
prosesi siraman calon ibu dan ayah melakukan sungkeman kepada
kedua orangtua guna memohon doa restu untuk keselamatan dan kelancaran
pesalinan. Siram artinya mandi. Siraman berarti
memandikan. Siraman atau mandi bertujuan untuk menyucikan
secara lahir dan batin sang ibu dan calon bayi. Dengan balutan kain batik, sang
ibu akan duduk dan disiram dengan air siraman yang telah ditaburi kembang
setaman. Dipandu oleh seorang sesepuh atau orang yang bertugas memimpin
jalannya prosesi ini, tujuh orang terpilih akan menyiram sang ibu menggunakan
gayung dari batok kelapa. Prosesi siraman dimulai dari orang yang paling tua di
keluarga, kemudian dilanjutkan dengan yang lainnya.
Sesuai
tema, jumlah angka tujuh atau pitu kemudian dipakai sebagai simbol. Air yang
digunakan diambil dari tujuh sumber, atau bisa juga dari air mineral berbagai
merek, yang ditampung dalam jambangan, yaitu sejenis ember bukan dari plastik
tapi terbuat dari terakota atau kuningan dan ditaburi kembang setaman atau
sritaman yaitu bunga mawar, melati, kantil serta kenanga. Aneka bunga ini
melambangkan kesucian. Tujuh orang bapak dan ibu teladan dipilih untuk tugas
memandikan. Seolah tanpa saingan, yang pasti terpilih adalah calon kakek dan
neneknya. Tanpa tetek bengek perhiasan seperti anting, ataupun gelang, dan
hanya mengenakan lilitan jarit (kain batik), calon ibu dibimbing menuju ke
tempat permandian oleh pemandu atau sesepuh di tempatnya.
Siraman diawali oleh calon
kakek, berikutnya calon nenek, dilanjutkan oleh yang lainnya. Dilakukan dengan
cara menuangkan atau mengguyurkan air yang berbunga-bunga itu ke tubuh calon
ibu dengan menggunakan gayung yang dibuat dari batok kelapa yang masih
berkelapa atau masih ada dagingnya. Bunga-bunga yang menempel disekujur badan
dibersihkan dengan air terakhir dari dalam kendi. Kendi itu kemudian dibanting
kelantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua yang hadir mengamati.
Setelah acarama siaraman
selesai kemudian upacara jualan rujak atau cendol (dawet) oleh sang calon ayah
dan calon ibu. Calon
ayah membawa payung untuk memayungi calon ibu saat berjualan, sementara calon
ibu membawa wadah untuk menampung uang hasil jualan tersebut. Uang yang
digunakan adalah uang koin yang terbuat dari tanah liat (kreweng). Sang calon
ayah menerima uang tersebut dari pembeli untuk dimasukkan dalam wadah tersebut
dan sang calon ibu melayani para pembeli. Rujak yang merupakan rujak
serut tersebut juga dibuat dari 7 macam buah-buahan. Calon ibu yang meracik
sendiri bumbu rujaknya, melambangkan apabila rasanya kurang enak, anaknya
adalah lelaki, dan sebaliknya
Budaya Pengajian
Pengajian dalam 7 bulanan di laksanakan atas rasa
bersyukurnya calon kedua orangtua sang anak, karena pada kehamilan usia 7 bulan
bayi dalam kandungan
mengalami banyak perubahan perkembangan yang lebih pesat dari pada usia 4
bulan, karena usia kandungan 7 bulan adalah usia persiapan awal menuju ke
proses kelahiran, dimana ukuran dan berat bayi bertambah dan perubahan tersebut
berdampak terhadap kondisi sang ibu yang biasanya menjadi lebih sering
merasakan nyeri di pinggang karena ukuran bayi yang dikandung semakin besar
akan semakin memberikan tekanan pada organ dalam seperti sembelit dan jadi
lebih sering buang air kecil. Selain ukuran dan berat bayi dalam kandungan yang
semakin membesar dan proporsional, kulit janin juga mulai dilapisi oleh sebuah
zat lemak yang akan membuat bayi merasa lebih hangat saat berada di dalam
kandungan. Di usia kandungan ke 7 bulan ini jugalah darah mulai menglir di
jaringan kulit bayi sehingga kulit yang tadinya keriput akan berangsur-angsur
menjadi semakin halus.
Dalam pengajian ini tidak ada tata cara yang mengharuskan, pengajian ini biasanya berisi doa-doa, sholawatan dan pengajian siraman rohani. Pengajian ini biasanya dilakukan dengan mengundang beberapa tetangga dan sanak saudara ataupu ibu-ibu pengajian untuk datang ke rumah sang ibu hamil dan melakukan pengajian tersebut bersama.
Dalam pengajian ini tidak ada tata cara yang mengharuskan, pengajian ini biasanya berisi doa-doa, sholawatan dan pengajian siraman rohani. Pengajian ini biasanya dilakukan dengan mengundang beberapa tetangga dan sanak saudara ataupu ibu-ibu pengajian untuk datang ke rumah sang ibu hamil dan melakukan pengajian tersebut bersama.
Acara 7 Bulanan Adat Jawa
Acara dimulai dengan prosesi
siraman yang dilakukan oleh 7 kerabat terdekat dengan tujuan meminta
keselamatan bagi si jabang bayi. Acara siraman dilakukan sebagai prosesi
penyucian si ibu dan anak, yang melakukan siraman pun adalah tujuh bapak dan
ibu teladan dari kedua belah pihak, dengan nenek dan kakek si jabang bayi yang
diutamakan. Siraman biasanya dilakukan di sebuah setting bernama krobongan atau
bisa juga di kamar mandi.
Acara siraman dilanjutkan dengan
acara brojolan yang biasanya dipimpin oleh nenek si jabang bayi. Seslesai
siraman, si calon bayi hanya memakai kain jarik yang disertai dengan sepotong
tali bernama letrek, si calon nenek kemudian akan memasukkan tropong atau telur
ayam dari atas jarik hingga jatuh dari bagian bawah. Setelah itu, brojolan
dilanjutkan dengan dua belah kelapa yang di brojolkan dari jarik. Si nenek
wajib menerima atau menangkap kelapa dari bawah jari kemudian menyerahkan
kepada si bapak. Akhirnya, si calon bapak memotong tali dengan keris sebagai
pertanda suami yang dapat memotong segala rintang.
Setelah selesai melakukan prosesi
brojolan, acara tujuh bulanan dilanjutkan dengan acara angreman. Acara dimulai
dengan si ibu yang dituntun ke ruang lain untuk berganti baju dengan tujuh
macam kain, hanya kain ketujuh lah yang akan dipakai sedangkan enam sebelumnya
akan dipakai sebagi alas duduk atau alas “angrem”. Prosesi juga biasanya
disertai dengan si ibu yang disuapi oleh si ayah dengan nasi tumpeng dan bubur
merah. Hal tersebut menandakan si anak dan juga ayah yang akan selalu
menghidupi keluarganya.
Setelah itu, acara akan
dilanjutkan dengan prosesi memecah kelapa yang telah diberikan oleh si nenek ke
ayah. Kelapa tersebut biasanya telah digambari dengan tokoh wayang Kamajaya dan
Kamaratih yang terkenal dengan ketampanan dan kecantikannya. Si ayah kemudian
memilih salah satu kelapa untuk dipecah. Jika ayah memilih Kamajaya, diharapkan
si jabang bayi adalah laki-laki dan Kamaratih adalah perempuan.
Di akhir acara, si ibu akan
membuat rujak yang kemudian akan dijual kepada para tamu. Para tamu pun akan
membelinya dengan uang-uangan dari bahan tanah liat. Prosesi ini pun merupakan
sebuah harapan agar si anak mendapatkan banyak rejeki untuk dirinya dan juga
bagi kedua orang tua mereka.
Dengan selesainya acara mitoni
atau tujuh bulanan sebelum matahari terbenam, diharapkan si anak hadir di dunia
dengan penuh keselamatan, rejeki, dan pertolongan dari Yang Maha Esa.
Dampak Terdahap yang Melaksanakan
Dampak yang dirasakan
ibu dan keluarga yang melaksanakan
tradisi tujuh bulanan ini secara pribadi
merasa bersih lahir dan bathin. Karena upacara
tujuh bulanan
ini diyakini mengakdung makna agar kelahiran bayi tidak banyak mengalami
hambatan dan menjadi anak yang sholeh dan berbudi yang baik dengan berbagai
proses dan ritual, mulai dari pembacaan Al-Qur’an, mandi kembang, pembelahan kelapa yang menandakan jenis
kelamin bayi, pemecahan telur dan sebagainya. Tujuh bulanan atau tingkeban tidak bisa dilakukan pada hari-hari biasa. Dibutuhkan tanggal dan hari
yang bagus menurut perhitungan jawa agar tak ada halangan yang menimpa nantinya. Tidak
hanya itu, proses ini juga membutuhkan tempat khusus dalam melaksanakannya.
Kajian Literatur
Umat
Islam di Indonesia terutama di pulau Jawa yaitu Jember, saat menyambut putera
dan putrinya pertama ternyata masih melakukan ritual-ritual yang tidak ada
perintah dari Nabi Muhammad SAW. Acara itu adalah Mitoni(saat
berusia tujuh bulan), dan juga tingkeban. Sebagian melakukan
ketiga-tiganya, ada pula yang melakukan acara mitoni dan tingkeban, ada pula
yang melakukan tingkeban saja karena mitoni dianggap sama dengan tingkeban.
Sejarah
tradisi ini berawal pada masa Prabu Jayabaya, waktu itu ada sepasang suami
istri bernama Niken Satingkeb dan Sadiya, mereka melahirkan anak sembilan kali
namun tidak satupun yang hidup. Kemudian keduanya menghadap raja Kediri, yaitu
Prabu Widayaka (Jayabaya), mereka disarankan agar menjalankan tiga hal yaitu:
1)Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta mandi menggunakan tempurung
kelapa (bathok). 2) Setelah mandi berganti pakaian yang bersih dengan
menggembol kelapa gading yang dihiasi Kamajaya dan Kamaratih/Wisnu dan Dewi Sri
yang diikat dengan daun tebu tulak, lalu dibrojolkan ke bawah, setelah kelapa
gading tadi dibrojolkan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh
suaminya.
Setelah
itu Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Akhirnya sejak saat itu
apabila ada orang hamil apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban atau mitoni.
Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan. Sebagian orang
Jawa, (dan juga selainnya termasuk Sunda, Minang, Dayak dan lainnya)
mempercayai bahwa mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah
kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih.
Mitoni
dan tingkeban dilaksanakan saat kehamilan berusia tidak boleh kurang dari 7
bulan. Karena tidak ada neptu atau weton (hari masehi + hari Jawa) yang
dijadikan patokan, maka hari selasa atau sabtu yang digunakan. Tujuan mitoni
atau tingkeban agar supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan
keselamatan.Ternyata tradisi Mitoni, dan Tingkeban yang sering dijumpai di
tengah-tengah masyarakat adalah tradisi yang berasal dari agama Hindu, yaitu
dalam KitabHindu Upadesa. Di dalam kitab,disebutkan bahwa
Telonan, Mitoni, dan Tingkeban dilakukan untuk memohon keselamatan anak yang
ada di dalam rahim (kandungan). Acara ini sering juga dikenal dengan Garba
Wedana (garba berarti perut, wedana berarti sedang mengandung).
Maksud dan Tujuan
Telonan
disebut juga pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip)
atau ruh kehidupan. Mitoni untuk melakukan ritual sambutan, yaitu
penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) atau ruh kehidupan si bayi. Dan
yang terbesar tingkeban berupa janganan,yaitu upacara suguhan
terhadap “Empat Saudara”yang menyertai kelahiran sang bayi,
yaitu: darah, air, barah, dan ari-ari yang oleh orang Jawa disebut kakang
kawah adi ariari.
Tingkeban
dilakukan guna memanggil semua kekuatan alam yang tidak kelihatan tapi
mempunyai hubungan langsung pada kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan
kepada Empat Saudarayang keluar bersama saat bayi dilahirkan.
Bayi dan kakang kawah ari-ari bersama-sama diupacarakan,
diberi pensucian dan suguhan agar sang bayi mendapat keselamatan dan selalu
dijaga oleh unsur kekuatan alam. Ari-ari yang keluar bersama bayi dibersihkan
dengan air dan dimasukkan ke dalam tempurung kelapa, atau guci. Guci kemudian
ditanam di pekarangan, di kanan pintu apabila bayinya laki-laki, di kiri pintu
apabila bayinya perempuan. Kendil atau guci yang berisi ari-ari ditimbun dengan
baik, dan pada malam harinya diberi lampu, selama tiga bulan. (Kitab
Upadesa, tentang ajaran-ajaran Agama Hindu, oleh : Tjok Rai Sudharta, MA. dan
Drs. Ida Bagus Oka Punia Atmaja, cetakan kedua 2007).
Sebagian Umat Islam Masih Melaksanakan
Sebagian
umat Islam di Indonesia masih melaksanakan tradisi ini. Akan tetapi dengan tata
cara yang berbeda(atau dibedakan) dengan tradisi Jawa. Keluarga yang memiliki
ibu yang hamil tujuh bulan mengajak tetangga-tetangganya guna dimintai
pertolongan untuk membacakan beberapa surat tertentu dari Alquran, seperti
Surat Yusuf, Surat Maryam, Surat Yasin, dll. Mereka membaca bersama-sama dengan
bagian yang berbeda-beda, surat yang panjang biasanya dibagi dua atau tiga
orang, sehingga dalam waktu kurang lebih setengah jam bacaan Alquran sudah
selesai dan diakhiri dengan pembacaan doa oleh imamnya.
Selamatan
kehamilan 7 bulanan tidak ada dalam ajaran Islam dan tradisi ini termasuk Bid’ah.
Upacara adat tujuh bulanan yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang
beragama Islam, juga dimaksudkan untuk kebaikan bagi anak yang dikandung. Dan
setidaknya mereka melakukan upacara tersebut untuk tujuan kebaikan dan
keselamatan bayinya, harapan mereka agar anak yang akan lahir menjadi anak yang
shalih, menjadi hamba Allah yang jujur, bermanfaat bagi agama dan bangsa
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tradisi tujuh bulanan
ini adalah suatu adat yang telah diyakini oleh masyarakat dan sudah
dilaksanakan secara turun-temurun. Tradisi tujuh bulanan ini dilaksanakan
dengan harapan diberikan kelancaran saat melahirkan dan berharap kelak anak
yang akan dilahirkan menjadi anak yang sholeh dan sholeha. Karena tradisi ini
sudah menjadi sebuah adat di masyarakat, oleh karena itu kita harus saling
menghargai kebudayaan ini, walaupun ada sebagian yang mengarah pada perbuatan
syirik, namun kita harus menghargai dan menghormati adanya kepercayaan yang ada
dalam upacara selametan dan dalam tradisi tujuh bulanan ini sebaiknya tidak
dilaksanakan secara berlebihan.
Lampiran
Foto
No comments:
Post a Comment