MENCARI
TUHAN
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
Dosen Pengampu :
Dr. Amaliyah, M.pd.
Di
susun oleh :
Kelompok
10
Malwa
Salama - 1102619094
Nindi
Rahmadien – 1102619060
Kayla
Zahra – 1102619081
Shelmawati
– 1102619064
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillah
puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia
–NYA sehingga kami dapat menyelesaikan makalah pendidikan agama islam yang
berjudul “ KONSEP
KETUHANAN ” dengan baik.
Dalam
penyusunan makalah ini, dengan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak,
kami telah berusaha untuk dapat memberikan yang terbaik dan sesuai
dengan harapan, walaupun didalam pembuatannya kami menghadapi kesulitan, karena
keterbasan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki.
Oleh karena
itu pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Amaliyah,
M.pd. selaku dosen pengampu Pendidikan Agama Islam . Dan juga kepada teman –
teman yang telah memberikan dukungan dan dorongan kepada kami.
Kami
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami
butuhkan agar dapat menyempurnakannya di masa yang akan datang. Semoga apa yang
disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi teman – teman dan pihak yang
berkepentingan.
Waalaikum
salam warahmatullahi wabarakatuh.
Jakarta, 10 Januari 2020
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Kepercayaan terhadap Tuhan
ternyata sudah ada sejak adanya makhluk yang bernama manusia. Dari zaman purba
sampai zaman modern sekarang ini kepercayaan terhadap Tuhan tidak pernah lepas
dari kehidupan manusia. Apa artinya semua ini? Ini menandakan bahwa kepercayaan
terhadap Tuhan adalah fithrah manusia. Kepercayaan terhadap Tuhan adalah hal
natural, sesuatu yang melekat (inherent) dalam diri manusia. Kepercayaan kepada
Tuhan meruapkan salah satu tabiat manusia. Kepercayaan kepada Tuhan sama sekali
bukan mitos, namun justru merupakan ekspresi sejati dari manusia. Dengan kata
lain, justru manusia yang tak percaya kepada Tuhan-lah manusia yang tidak
normal. Bahkan, tanpa hadirnya seorang rasul dan kitab suci pun manusia
ternyata bisa “menemukan’ Tuhan. Dengan menggunakan akal pikirnya saja, manusia
bisa menyimpulkan bahwa ada kekuatan Maha Tinggi yang berada di balik semua
realitas kehidupan.
Selanjutanya, dalam
kehidupannya, manusia dihadapkan oleh berbagai keadaan dan permasalahan yang
tidak semuanya sanggup ia selesaikan. Kejadian-kejadian alam yang di luar
pencernaan akalnya juga membuatnya berpikir siapakah sebenarnyayang menjadi
sutradara di balik semua kejadian. Manusia membutuhkan Dzat Yang Maha Tinggi,
kekuatan yang dapat ia jadikan sebagai tempat melabuhkan sebagala problematika
hidup. Sosok yang dapat dijadikan sandaran untuk mengatasi kegundahan hati dan
permasalahan hidup yang tak bisa ia selesaikan. Dialah Tuhan. Pertanyaannya adalah,
apakah kesimpulan-kesimpulan manusia tentang Tuhan itu sudah benar? Benarkah
tuhan-tuhan yang mereka sembah adalah benar-benar Tuhan?
1. Siapakah
Tuhan itu?
2. Bagaimana
Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan?
3. Bagaimana
Perspektif Tuhan dalam Psikologis, Sosiologis, Filosofis, Teologis?
4. Apa
Saja Bukti Eksistensi Tuhan?
1.
Untuk memperjelas Konsep Ketuhanan dalam Islam
2.
Lebih memperdalam tentang Siapakah Tuhan itu
3.
Untuk lebih mengetahui Bukti Eksistensi Tuhan
BAB II PEMBAHASAN
Pemikiran Barat
Yang dimaksud
konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas
hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang
bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah
agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses
dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna.
Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh
EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran
tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:
- Dinamisme
Menurut paham
ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh
dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada
benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh
positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda
disebut dengan nama yang berbeda-beda,
seperti mana(Melanesia), tuah (Melayu),
dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat
dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai
sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia dapat
dirasakan pengaruhnya.
- Animisme
Masyarakat
primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang
dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai
sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh
dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak
senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia
tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan
kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu
usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
- Politeisme
Kepercayaan
dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu
banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain
kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai
dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada
yangmembidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
- Henoteisme
Politeisme
tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu
dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai
kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif
(tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan,
namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan
untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).
- Monoteisme
Kepercayaan
dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya
mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk
monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu:
deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme
dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB.
Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya
monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang
berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka
mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap
Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan
lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme
menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai
menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah
agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi,
tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan
pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan
masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul
kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal
dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).
Perkataan ilah,
yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai
obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45
(Al-Jatsiiyah): 23, yaitu:
“Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya….?”
Dalam QS 28
(Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk
dirinya sendiri: “Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak
mengetahui tuhan bagimu selain aku.”
Contoh
ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilahbisa mengandung
arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda
nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam
Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda
(mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme
tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan
definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika
Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (ilah)
ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian
rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataan dipentingkan hendaklah
diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan,
diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk
pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian. Ibnu
Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah:
yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di
hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika
berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan
diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat
mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M.Imaduddin, 1989:56)
Atas dasar
definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang
pasti, manusia tidak mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan
logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan
begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka
ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka. Dalam ajaran Islam diajarkan
kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan
peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan
“melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri
dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya
ada satu Tuhan, yaitu Allah.
Pengetahuan
menurut Al-kindi terbagi menjadi dua :
·Pertama, pengetahuan
illahi atau ilm ila’hiyy seperti yang tercantum dalam al-qur’an, yaitu
pengetahuan langsung yang diperoleh nabi dari tuhan. Dasar pengetahuan itu
adalah keyakinan.
· Kedua, pengetahuan
manusiawi atau ilm insanyyataqu filsafat yang didasarkan atas pemikiran.
Bagi al-kindi,
agrumen yang dibawa al-qur’anitu lebih meyakinkan dari pada agrumen yang
dikemukakan oleh filsafat, tetapi filsafat dan al-qur’an tidaklah bertentangan
kebenaran yang diberitakan wahyu tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang
dibawa filsafat. Mempelajari filsafat dan berfilsafat tidaklah dilarang,
klarena teologi (ilmu kalam) adalah bagian dari filsafat.umat islam pun menurut
filsufini diwajibkan mempelajari filsafat
Filsafat
baginya adalah pengetahuan tentang yang benar atau baths an al-haqq (knowledge
of thruth). Dari sinilah kita bisa melihat persamaan atau filsafat dari agama.
Tujuan agama dan tujuan filsafat adalah sama yaitu menerangka apa yang benar
dan apa yang baik. Agama, disamping wahyu, juga menggunakan akal sebagai mana
filsafatmenggunakan akal. Adapun kebenaran peratama menurut al-kindi, ialah
tuhan (allah). Dialah the first truth. Dengan demikian filsafat membahas soal
tuhan, agama t tentang tuhan. Dialam ini terdapat benda benda yang di tangkap
oleh panca indera yang merupaka juz’iyyat yang tiada terhingga itu akan tetapi
yang terpenting adalah hakikat yang terdapat didalam juz’iyyat itu yaitu yang
disebut kulliyyat, atau universal, definisi. Tiap benda mempunyai dua hakikat.
PERTAMA, hakikat sebagai juz’iyy disebut an-niya. KEDUA, hakikat sebagai
kulliyah yang disebut ma’niyyah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam
bentuk genus dan spesies.
Tuhan dalam
filsafat al-kindi tiadalah mempunyai hakikat dalam arti an-niyah maupun
ma-hiyyah. Tuhan bukanlah benda dan tidak termaksuk benda yang ada dialam. Ia pencipta
alam, ia tidak tersusun dari materi dan bentuk (al hayyuli’ yang wa al-shurah).
Tuhan juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk ma’hiyyah, karena tuhan tidak
merupakan genus atau spesies. Tuhan hanya satu tidak ada yang serupa
dengan-Nya,. Ia adalah unik, ia adalah yang benar pertama dan yang maha benar.
Ia hanyalah satu dan semata mata Satu. Selain dia, semuanya mengandung arti
banyak.
Sesuai dengan
ajaran paham islam, tuhan bagi al-kindi adalah pencipta dan bukan penggerak
pertama seperti pendapat aristoteles. Alam bagi al-kindi bukan kekal di zaman
lampau, tetapi mempunyai permulaan. Karena itu dalam hal ini ia lebih dekat
dengan filsafat plotenus yang mengatakan bahwa yang maha satu adalah sumber
dari ala mini dan sumber dari segala yang ad. Alam ini adalah emanasi atau
pancaran dari yang maha satu.
§ Bagaimana
Tuhan dirasakaan kehadirannya dalam Perspektif
Psikologis?
Psikologis?
Menurut hadis Nabi,
orang yang sedang jatuh cinta cenderung selalu mengingat dan menyebut orang
yang dicintainya (man ahabba syai’an katsura dzikruhu), kata Nabi, orang juga
bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai’an fa huwa `abduhu).
Kata Nabi juga, ciri
dari cinta sejati ada tiga :
(1)
lebih
suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain,
(2)
lebih suka berkumpul dengan yang dicintai
dibanding dengan yang lain, dan
(3)
lebih
suka mengikuti kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri.
Bagi orang yang telah
jatuh cinta kepada Allah SWT, maka ia lebih suka berbicara dengan Allah Swt,
dengan membaca firman Nya, lebih suka bercengkerama dengan Allah SWT dalam
I`tikaf, dan lebih suka mengikuti perintah Allah SWT daripada perintah yang
lain saat itulah kehadiran Allah dapat kita rasakan.
§
Bagaimana
Tuhan Disembah Masyarakat Dalam Perspektif Sosiologis?
Berbeda dengan perspektif teologis,
sosiologi memandang agama tidak berdasarkan teks keagamaan (baca kitab suci dan
sejenisnya), tetapi berdasarkan pengalaman konkret pada masa kini dan pada masa
lampau. Hingga kini Agama menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dalam tiap sendi
kehidupan manusia. Bahkan manusia yang menganggap dirinya sebagai manusia yang
paling modern sekalipun tak lepas dari Agama. Hal ini membuktikan bahwa Agama
tidaklah sesempit pemahaman manusia mengenai kebenaranya. Agama tidak saja
membicarakan hal-hal yang sifatnya eskatologis, malahan juga membicarakan
hal-hal yang logis pula. Agama juga tidak hanya membatasi diri terhadap hal-hal
yang kita anggap mustahil. Karena pada waktu yang bersamaan Agama juga
menyuguhkan hal-hal yang riil. Begitulah Agama, sangat kompleks sehingga
betul-betul membutukan mata yang sanggup untuk memahaminya.
Dalam Sosiologis, Agama dipandang
sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu.
Berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
Oleh karena itu, setiap perilaku yang diperankan akan terkait dengan sistem
keyakinan dari ajaran Agama yang dianut. Perilaku individu dan sosial
digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran
Agama yang menginternalisasi sebelumnya. Manusia, masyarakat, dan
kebudayaanberhubungan secara dialektik. Ketiganya berdampingan dan berhimpit
saling menciptakan dan meniadakan.
§ Bagaimana
Tuhan Dirasionalisasikan Dalam Perspektif Filosofis?
Filsafat Ketuhanan
adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi, yaitu memakai apa
yang disebut sebagai pendekatan filosofis. Bagi orang yang menganut agama
tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan
wahyu di dalam usaha memikirkannya. Jadi Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran
para manusia dengan pendekatan akal budi tentang Tuhan. Usaha yang dilakukan
manusia ini bukanlah untuk menemukan Tuhan secara absolut atau mutlak, Namun
mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada
kebenaran tentang Tuhan.
Penelaahan tentang Allah
dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi. Hal ini bukan menyelidiki
tentang Allah sebagai obyek, namun eksistensi alam semesta, yakni makhluk yang
diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata sebagai kausa pertama, tetapi
bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula
pada teodise . Jadi pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam
filsafat.
Namun pendapat ini
ditolak oleh para agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada
orang beriman. Maka ditempuhlah cara ilmiah untuk membedakan dari teologi
dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat lainnya (Filsafat
manusia, filsafat alam dll). Maka para filsuf mendefinisikannya sebagai usaha
yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik, dan secara refleksif , realitas
tertinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melalui sekitar diri
kita.
§ Konsep
tentang Tuhan dalam Perspektif Teologis?
Dalam perspektif
teologis, masalah ketuhanan, kebenaran, dan keberagamaan harus dicarikan
penjelasannya dari sesuatu yang dianggap sakral dan dikultuskan karena dimulai
dari atas (dari Tuhan sendiri melalui wahyu-Nya). Artinya, kesadaran tentang
Tuhan, baik-buruk, cara beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari Tuhan
sendiri. Tuhan memperkenalkan diri-Nya, konsep baik-buruk, dan cara beragama
kepada manusia melalui berbagai pernyataan, baik yang dikenal sebagai
pernyataan umum, seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam, penciptaan
semua makhluk, maupun pernyataan khusus, seperti yang kita kenal melalui
firman-Nya dalam kitab suci, penampakan diri kepada nabi-nabi, bahkan melalui
inkarnasi menjadi manusia dalam dogma Kristen.
Pernyataan-pernyataan
Tuhan ini menjadi dasar keimanan dan keyakinan umat beragama. Melalui wahyu
yang diberikan Tuhan, manusia dapat mengenal Tuhan; manusia mengetahui cara
beribadah; dan cara memuji dan mengagungkan Tuhan. Dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan tentang Tuhan, baik-buruk, dan cara beragama dalam perspektif
teologis tidak terjadi atas prakarsa manusia, tetapi terjadi atas dasar wahyu
dari atas. Tanpa inisiatif Tuhan melalui wahyu-Nya, manusia tidak mampu menjadi
makhluk yang bertuhan dan beribadah kepada-Nya
1. Metode
Pembuktian Ilmiah
Tantangan zaman modern
terhadap agama terletak dalam masalah metode pembuktian. Metode ini mengenal
hakikat melalui percobaan dan pengamatan, sedang akidah agama berhubungan
dengan alam di luar indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan (agama
didasarkan pada analogi dan induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut
metode ini agama batal, sebab agama tidak mempunyai landasan ilmiah.
Sebenarnya sebagian ilmu
modern juga batal, sebab juga tidak mempunyai landasan ilmiah. Metode baru
tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun belum diuji secara empiris. Di
samping itu metode ini juga tidak menolak analogi antara sesuatu yang tidak
terlihat dengan sesuatu yang telah diamati secara empiris. Hal ini disebut
dengan “analogi ilmiah” dan dianggap sama dengan percobaan empiris.
Suatu percobaan
dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak hanya karena percobaan itu dapat
diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap
salah, hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya
berada pada tingkat yang sama.
Percobaan dan pengamatan
bukanlah metode sains yang pasti, karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada
persoalan yang dapat diamati dengan hanya penelitian secara empiris saja. Teori
yang disimpulkan dari pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan untuk
mengobservasi. Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern berpendapat bahwa
kebanyakan pandangan pengetahuan modern, hanya merupakan interpretasi terhadap
pengamatan dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu
banyak sarjana percaya padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara
langsung. Sarjana mana pun tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa berpegang
pada kata-kata seperti: “Gaya” (force), “Energy”, “alam” (nature), dan “hukum
alam”. Padahal tidak ada seorang sarjana pun yang mengenal apa itu: “Gaya,
energi, alam, dan hukum alam”. Sarjana tersebut tidak mampu memberikan
penjelasan terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama seperti ahli
teologi yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan. Keduanya
percaya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab yang tidak diketahui.
Dengan demikian tidak
berarti bahwa agama adalah “iman kepada yang ghaib” dan ilmu pengetahuan adalah
percaya kepada “pengamatan ilmiah”. Sebab, baik agama maupun ilmu pengetahuan
kedua-duanya berlandaskan pada keimanan pada yang ghaib. Hanya saja ruang
lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup “penentuan hakikat” terakhir
dan asli, sedang ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada pembahasan
ciri-ciri luar saja. Kalau ilmu pengtahuan memasuki bidang penentuan hakikat,
yang sebenarnya adalah bidang agama, berarti ilmu pengetahuan telah menempuh
jalan iman kepada yang ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang lain.
Para sarjana masih
menganggap bahwa hipotesis yang menafsirkan pengamatan tidak kurang nilainya
dari hakikat yang diamati. Mereka tidak dapat mengatakan: Kenyataan yang diamati adalah satu-satunya
“ilmu” dan semua hal yang berada di luar kenyataan bukan ilmu, sebab tidak
dapat diamati. Sebenarnya apa yang disebut dengan iman kepada yang ghaib oleh
orang mukmin, adalah iman kepada hakikat yang tidak dapat diamati. Hal ini
tidak berarti satu kepercayaan buta, tetapi justru merupakan interpretasi yang
terbaik terhadap kenyataan yang tidak dapat diamati oleh para sarjana.
2. Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Adanya alam serta
organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak boleh tidak
memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya,
suatu “Akal” yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa
dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar itu dan
dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.
Jika percaya tentang
eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang adanya Pencipta Alam.
Pernyataan yang mengatakan: <<Percaya adanya makhluk, tetapi menolak
adanya Khaliq>> adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Belum pernah
diketahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala
sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana
akan percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya
tanpa pencipta?
3. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Sampai abad ke-19
pendapat yang mengatakan bahwa alam menciptakan dirinya sendiri (alam bersifat
azali) masih banyak pengikutnya. Tetapi setelah ditemukan “hukum kedua
termodinamika” (Second law of
Thermodynamics), pernyataan ini telah kehilangan landasan berpijak.
Hukum tersebut yang
dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan perubahan energi
panas membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin bersifat azali. Hukum
tersebut menerangkan bahwa energi panas selalu berpindah dari keadaan panas
beralih menjadi tidak panas. Sedang kebalikannya tidak mungkin, yakni energi
panas tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas menjadi panas.
Perubahan energi panas dikendalikan oleh keseimbangan antara “energi yang ada”
dengan “energi yang tidak ada”.
Bertitik tolak dari
kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika di alam terus berlangsung, serta
kehidupan tetap berjalan. Hal itu membuktikan secara pasti bahwa alam bukan
bersifat azali. Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah
kehilangan energinya, sesuai dengan hukum tersebut dan tidak akan ada lagi
kehidupan di alam ini. Oleh karena itu pasti ada yang menciptakan alam yaitu
Tuhan.
4. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Benda alam yang paling
dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dari bumi sekitar 240.000 mil,
yang bergerak mengelilingi bumi dan menyelesaikan setiap edarannya selama dua
puluh sembilan hari sekali. Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil
dari matahari berputar pada porosnya dengan kecepatan seribu mil per jam dan
menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Di samping
bumi terdapat gugus sembilan planet tata surya, termasuk bumi, yang
mengelilingi matahari dengan kecepatan luar biasa.
Matahari tidak berhenti
pada suatu tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama-sama dengan planet-planet
dan asteroid mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan 600.000 mil per jam.
Di samping itu masih ada ribuan sistem selain “sistem tata surya” kita dan
setiap sistem mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy
tersebut juga beredar pada garis edarnya. Galaxy dimana terletak sistem
matahari kita, beredar pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam
200.000.000 tahun cahaya.
Logika manusia dengan
memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi yang teliti, akan
berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya, bahkan
akan menyimpulkan bahwa di balik semuanya itu ada kekuatan maha besar yang
membuat dan mengendalikan sistem yang luar biasa tersebut, kekuatan maha besar
tersebut adalah Tuhan.
Metode pembuktian adanya
Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan keserasian alam tersebut oleh Ibnu
Rusyd diberi istilah “dalil ikhtira”. Di samping itu Ibnu Rusyd juga
menggunakan metode lain yaitu “dalil inayah”. Dalil ‘inayah adalah metode
pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi
kehidupan manusia (Zakiah Daradjat, 1996:78-80).
No comments:
Post a Comment